Sebelas Komponen Jaminan Mutu Laboratorium Sesuai ISO 17025:2017
Pada kesempatan sebelumnya saya menulis artikel tentang Penjaminan Mutu Laboratorium Uji Berdasarkan ISO 17025:2017. Dari artikel tersebut, kita mengetahui bahwa ISO 17025:2017 menyebutkan sebanyak sebelas komponen jaminan mutu laboratorium yang wajib Kita lakukan.
Hal itu bersifat wajib karena bahasa yang ISO gunakan adalah shall. Sebentar, kalau ada yang bersifat wajib artinya ada klausul ISO yang tidak wajib untuk dilakukan? Yap betul sekali. Dalam kesempatan terpisah akan Saya jelaskan hal tersebut.
Kita bisa mengetahui apa saja sebelas komponen jaminan mutu laboratorium yang ISO 17025:2017 sebutkan langsung dengan melihat teksnya. Namun pasti ada sebagian rekan-rekan yang ingin mengetahui lebih dalam apa yang mereka maksudkan. Untuk itu Saya bagikan dalam tulisan kali ini, dengan fokus dalam lingkup laboratorium uji. Mari kita simak. Rekan-rekan juga bisa ikut berdiskusi dalam kolom komentar dari artikel ini.
1. Penggunaan bahan referensi atau material pengendali mutu
Penggunaan bahan referensi sudah menjadi keharusan yang juga sudah Kita pahami maksudnya. Kita tidak akan bisa mengetahui berapa nilai hasil pengukuran tanpa materi pembanding (referensi).
Contoh yang sangat sederhana seperti saat Kita ingin mengetahui berapa panjang pulpen yang Kita miliki. Kita membutuhkan penggaris sebagai referensi untuk mengukurnya. Namun ada hal lain yang penting untuk Kita ingat terkait dengan bahan referensi yaitu ketertelusuran.
Untuk memastikan bahwa referensi yang Kita gunakan tertelusur maka Kita harus menggunakan bahan referensi yang memiliki sertifikat. Sertifikat ini menjadi bukti bahwa bahan referensi itu tertelusur sampai induknya.
Jika Kita menggunakan bahan referensi yang tertelusur maka nilai hasil pengukuran yang kita lakukan adalah sama dengan yang pihak lain lakukan. Beda halnya jika Kita gunakan bahan referensi yang tidak tertelusur. Kita bisa saja mendapatkan nilai panjang dari pulpen yang Kita ukur, bisa jadi 11,2 cm atau 12,1 cm. Namun nilai itu akan menjadi tidak ada artinya jika tidak diakui oleh pihak lain, seandainya Kita tidak menggunakan bahan referensi yang tertelusur.
Baca juga: Presisi dan Akurasi dalam Sains, Apa Bedanya?
2. Penggunaan instrumen alternatif yang sudah terkalibrasi untuk memastikan ketertelusurannya
Saya sempat berdiskusi dengan beberapa rekan di laboratorium, dan poin ini yang cukup membuat kami bingung. Coba rekan-rekan pertimbangkan dari kalimatnya. “Penggunaan instrumen alternatif”. Artinya apakah laboratorium harus memiliki instrumen alternatif untuk setiap metode yang Kita lakukan di laboratorium? Harus memiliki dua macam instrumen untuk satu metode?
Kesimpulan mudahnya ya memang seperti itu, Kita harus memiliki instrumen alternatif yang terkalibrasi lalu kita pastikan ketertelusuran dengan menggunakan instrumen tersebut. Tapi bagaimana jika Kita gunakan satu instrumen yang terkalibrasi saja? Karena toh dengan satu instrumen pun Kita bisa memastikan ketertelusurannya karena instrumen itu terkalibrasi.
Ingat apa tujuan kalibrasi? Tujuan kalibrasi yaitu untuk mencapai ketertelusuran pengukuran. Jika ketertelusuran bisa kita capai, apalagi yang diharapkan? Pemahaman ini yang masih Saya pegang. Dan beberapa pihak lain seperti auditor pun (sepengalaman Saya) memiliki pemahaman yang sama.
3. Pemeriksaan fungsi dari perlengkapan uji atau kalibrasi
Setiap metode pasti menggunakan peralatan atau perlengkapan. Jika kita menggunakan pipet mohr untuk memindahkan sejumlah volume sampel, maka pipet tersebut haruslah diperiksa. Seperti apakah skala dari pipet tersebut masih bisa terbaca dengan jelas atau apakah ada keretakan pada badan pipet?
Jika Kita menggunakan spektrofotometer untuk melakukan penetapan COD dalam sampel air, maka spektrofotometer tersebut juga harus diperiksa fungsinya. Penetapan COD juga memerlukan pemanas untuk proses digestion. Oleh karena itu alat pemanas tersebut seharusnya ikut diperiksa.
Lazimnya laboratorium melakukan pemeriksaan fungsi berkala minimal satu hari sekali, ketika alat tersebut akan Kita gunakan. Frekuensi ini yang biasanya diatur di dalam prosedur atau instruksi kerja. Untuk mempermudah para teknisi dalam melakukan pemeriksaan, maka Kita buatkan formulir pemeriksaan fungsi. Formulir ini juga yang akhirnya membuktikan apakah laboratorium melakukan pemeriksaan fungsi perlengkapan atau tidak.
Perekaman formulir ini sering sekali disepelekan oleh personel laboratorium, apalagi karena pekerjaan rutin, dan alat (umumnya) berfungsi dengan baik. Ketika terjadi sesuatu pun, masalah bisa diatasi dengan baik karena support yang bisa Laboratorium berikan sangat mudah.
Namun perlu menjadi perhatian lebih ketika perlengkapan akan Kita gunakan untuk pengukuran di lapangan. Satu kegagalan sederhana, misalnya baterai yang habis bisa mengakibatkan seluruh rencana hari itu rusak. Lokasi lapangan bisa sangat jauh dari support system. Satu masalah kecil bisa jadi tidak bisa selesai saat itu juga dan berimplikasi menjadi masalah yang besar.
4. Penggunaan control chart atas standar kerja yang terukur, jika memungkinkan
Control chart merupakan salah satu komponen yang sering dibicarakan terkait dengan jaminan mutu laboratorium. Namun seperti yang ISO 17025:2017 sebutkan, hal ini laboratorium lakukan jika hanya memungkinkan.
Jadi wajib atau gak wajib nih? Wajib, jika memungkinkan atau dapat Kita lakukan. Karena beberapa metode uji atau kalibrasi mungkin saja “sulit” jika harus Kita buatkan control chart-nya. Pengujian pH bisa Kita buat control chart-nya dengan mudah. Pengujian besi dalam sampel air pun bisa Kita buatkan control chartnya dengan mudah.
Namun bagaimana dengan pengujian organoleptik misalnya? Apakah bisa Kita buatkan control chart-nya? Hal-hal seperti ini yang menjadi pertimbangan ISO tentunya sehingga mereka menambahkan ketentuan “where applicable” atau jika memungkinkan.
Secara teknis, mudah-mudahan bisa Kami bagikan secara teknis terkait dengan pembuatan control chart di artikel yang lain.
5. Pemeriksaan antara, atas perlengkapan pengukuran
Laboratorium di Indonesia lazimnya melakukan kalibrasi terhadap peralatan ukurnya satu tahun sekali. Walaupun tidak ada ketentuan yang pasti akan hal tersebut. ISO pun memberikan Laboratorium suatu kesempatan untuk menilai peralatannya sendiri. Seberapa besar beban yang peralatan dapatkan, sehingga berpengaruh terhadap frekuensi kalibrasi yang Laboratorium lakukan.
Seperti apapun frekuensi kalibrasi yang Laboratorium lakukan, akan ada gap antara kalibrasi saat ini dengan kalibrasi akan datang. Dengan kondisi seperti ini maka ISO mempersyaratkan Laboratorium untuk melakukan pemeriksaan antara. Yap yang dimaksud antara adalah antara periode kalibrasi.
Umumnya Laboratorium melakukan pemeriksaan antara setiap satu bulan sekali. Tapi sama seperti frekuensi kalibrasi. Frekuensi pemeriksaan antara pun sebaiknya Kita tentukan berdasarkan beban yang didapatkan oleh peralatan.
6. Pengukuran replikat menggunakan metode yang sama atau berbeda
Laboratorium harus melakukan pengukuran replikat, dengan metode yang sama atau berbeda. Secara umum banyak laboratorium melakukan pengukuran replikat dengan metode yang sama. Mereka cukup melakukan pengukuran replikat ketika suatu set pengujian dilakukan.
Apakah replikat harus Kita lakukan untuk semua sampel yang diuji? Tidak harus karena tidak ada persyaratan seperti itu. Laboratorium bisa melakukan pengukuran replikat setiap sepuluh atau lima belas sampel misalnya. Semakin banyak frekuensinya tentunya akan semakin hebat penjaminan mutunya.
Replikat dilakukan dengan cara dua kali pengujian pada sampel yang sama? Bukan, kalau dua kali artinya duplo. Hal sederhana seperti ini yang sering terjadi. Sebagian personel masih memiliki kepercayaan bahwa antara replikat dan duplikat itu sama.
Replikat bisa Kita lakukan dengan dua atau lebih pengulangan pengujian. Ketika Kita melakukan dua ulangan pengujian maka Kita akan mendapatkan nilai RPD (Relative Percent Different). Sedangkan jika Kita lakukan minimal tiga ulangan pengujian, Kita akan mendapatkan nilai SD (Standard Deviation) atau RSD (Relative Standard Deviation) atau CV (Coeficient of Variation).
Yang mana yang akan Laboratorium pilih? Hal ini menjadi hak Laboratorium. Tentunya keputusan yang Laboratorium ambil sebaiknya berdasarkan metode standar atau referensi terpercaya.
7. Pengujian ulang atas sampel retain
Laboratorium menyimpan sampel yang sudah selesai pengujian atau kalibrasi dalam rentang waktu tertentu sebelum akhirnya Laboratorium musnahkan. Inilah maksudnya sampel retain. Berapa lama laboratorium menyimpan sampel retain menjadi ketentuan Laboratorium sendiri.
Yang menjadi fokus di sini adalah, laboratorium menguji ulang sampel retain. Apakah sampel retain harus rutin Kita ujikan? Seandainya Laboratorium memiliki 1000 sampel per bulan, lalu semua sampel itu harus Kita uji ulang?
Seandainya Laboratorium mampu menguji ulang setiap sampel retain, silahkan. Namun akan menjadi sangat tidak efektif jika seperti itu. Pengujian sampel retain bisa laboratorium lakukan berkala atau secara insidental.
Selama ini yang Saya lakukan di Laboratorium adalah insidental. Ketika ada pengujian yang dipertanyakan dan perlu konfirmasi ulang, maka Laboratorium melakukan pengujian ulang sampel retain. Kondisi yang menyebabkan perlunya konfirmasi ulang yaitu misalnya ketika hasil pengujian di atas batas regulasi. Padahal parameter uji lain yang terkait menunjukkan hasil yang sebaliknya.
8. Korelasi karakteristik antara hasil-hasil pengujian yang relevan
Suatu sampel itu umumnya memiliki karakteristik. Sebagai contoh, misal jika Kita mendapatkan sampel limbah cair, kemungkinan besarnya adalah ia memiliki nilai COD yang tinggi. Jika COD terukur maka di dalam sampel tersebut akan terukur juga BOD-nya. Tentu saja dengan nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan COD.
Seandainya kita menerima sampel limbah beracun, dan perbedaan antara COD dan BOD nya sangat jauh, kemungkinan itu bisa diterima. Selain kondisi itu, umumnya nilai BOD sekitar 85% atau lebih kecil terhadap nilai COD nya.
Banyak hal yang berhubungan antara beberapa jenis pengujian. Laboratorium bisa mengidentifikasi hal tersebut dan menerapkannya sebagai standar dalam melakukan pengendalian mutu. Karakteristik seperti ini biasanya bisa Kita dapatkan informasinya dari metode standar atau referensi. Pengalaman seseorang dalam bekerja juga bisa mempengaruhi wawasannya terhadap hal ini.
9. Pengkajian ulang hasil pengujian
Hasil pengujian harus terlebih dulu dikaji ulang. Atau dalam bahasa sederhananya, diperiksa. Personel yang pantas untuk memeriksa adalah mereka yang paham betul terkait dengan sifat-sifat karakteristik sampel, parameter uji, dan lainnya.
Jika perlu, kaji ulang juga berlangsung beberapa tahap dan sistematis. Laboratorium bisa membuat prosedur untuk pengkajian ulang hasil uji mulai dari Supervisor lalu Manajer Teknis dan Manajer Mutu, misalnya.
Untuk memastikan bahwa kaji ulang terlaksana secara sistematis maka Laboratorium bisa membuat formulir pemeriksaan. Dengan rekaman seperti ini Laboratorium dapat membuktikan bahwa proses kaji ulang betul-betul terlaksana.
Kaji ulang hasil pengujian memeriksa banyak hal, termasuk hal terkait dengan penulisan, penggunaan titik atau koma, kesesuaian dengan permintaan pelanggan, kesesuaian dengan regulasi, dan sebagainya.
Untuk mengurangi potensi kesalahan yang mungkin bisa terjadi pada laporan, Laboratorium bisa menggunakan teknologi digital. Aplikasi digital saat ini sudah memilki banyak fitur yang bisa membantu dalam melakukan kaji ulang. Fitur validation misalnya pada microsoft excel bisa menolak input yang salah. Suatu kolom bisa Kita setel hanya bisa menerima angka dan menolak huruf.
Jika laboratorium memiliki budget yang cukup besar, pengembangan sistem LIMS (Laboratory Information Management System) bisa jadi solusi yang terbaik yang saat ini tersedia.
10. Uji banding intralaboratorium
Perlu Kita garis bawahi bahwa dalam konteks ini, uji banding yang ISO maksud adalah intralaboratorium (dalam laboratorium). Istilah ini memang tidak sepopuler uji banding antar laboratorium. Tapi tetap saja, hal ini menjadi persyaratan ISO 1725:2017 agar jaminan mutu laboratorium bisa optimal.
Teknik yang Kita gunakan untuk kegiatan ini sama dengan uji banding antar laboratorium. Laboratorium bisa menggunakan uji z-score untuk penilaiannya.
11. Pengujian blind sampel
Kalau Kita pikirkan, sebetulnya sampel-sampel yang Laboratorium terima untuk pengujian adalah sampel buta, yang kita tidak tahu berapa nilai sebenarnya. Tapi bukan itu maksudnya. Blind sampel yang ISO maksudkan adalah sampel yang mendapatkan spike standard yang disiapkan untuk diuji oleh teknisi yang tidak tahu menahu terkait dengan preparasi tersebut.
Hasil yang terukur oleh teknisi lalu kita hitung untuk evaluasi. Apakah sesuai dengan yang kita siapkan, misalnya Kita dapatkan recovery sebesar 96%. Atau apakah hasil melampaui syarat keberterimaan karena Kita mendapatkan recovery sebesar 125%.
Hal yang penting dari sebelas komponen ini yaitu Laboratorium harus memiliki rencana. Pada implementasinya sebelas komponen ini Kita atur dalam prosedur dan Kita rencanakan dalam kalender sistem manajemen tahunan. Semua rekaman yang terkait dengan jaminan mutu laboratorium juga Kita lakukan dan Kita pelihara dengan baik sampai batas pemusnahannya.